Prasasti Dolok Tolong

Eksistensi prasasti Dolok Tolong dinyakini merupakan bukti utama atas persinggungan budaya batak dengan pradaban Hindu dan Budha di Indonesia. Prasasti Dolok Tolong merupakan Prasasti atas existensi, orang Majapahit di Tanah Batak.

Saat itu Pasukan Marinir Kerajaan Majapahit, mengalami kekalahan pahit di Selat Malakka, mereka melalui Sungai Barumun menyelamatkan diri ke daratan Sumatera sampai ke suatu daerah di Portibi Tapanuli selatan, Disana mereka dicegat, di hadang masyarakat, sehingga mereka melanjutkan pelarian kearah utara ke Bukit Dolok Tolong di daerah Tampahan Balige. Di Gunung itulah mereka meminta suaka politik kepada seorang Raja dari Rumpun Marga Sumba (Isumbaon), yaitu Tuan Sorbadibanua yang saat itu menguasai daerah tersebut.

Daerah Dolok Tolong yang juga disebut daerah Tombak Longlongo Sisumbaon. Sebuah gunung yang lumayan tinggi, dari puncaknya pemandangan dapat di arahkan ke Samosir ke Silindung, ke Daerah Humbang, Tanah Asahan, Labuhanbatu dan ke arah Angkola. Doloktolong adalah Gunung seolah-olah merupakan pengawal daerah tinggi Toba yang ditengahnya terletak berada Danau Toba. Daerah Dataran Tinggi Toba, ditengah-tengahnya berada Danau Toba yang dikelilingi oleh bukit-bukit. Daerah dataran tinggi Toba merupakan bahagian dari jajaran Bukit Barisan layaknya jajaran bukit-bukit itu bagaikan pagar dari Danau Toba. 


Pasukan Mojopahit, yang menghindar ke sungai Barumun dipimpin seorang Pangeran dan ikut juga seorang putri bernama Siboru Basopaet (Putri Mojopahit) Srikandi Mojopahit,
Siboru Basopaet inilah yang ikut dalam rombongan pasukan/mariner yang kemudian dikawinkan kepada Raja Batak yang berkuasa pada waktu itu di daerah Toba yaitu Tuan Sorbadibanua. Dialah turunan Raja Batak dari turunan Isumbaon (Sumba). Puteri Mojopahit menjadi istri kedua dari Tuan Sorbadibanua. Istri pertama adalah boru Pasaribu memilih tempat tinggal di lereng Dolok Tolong disebelah barat namanya Galagala. Disitulah Boru Sipasopaet bertempat tinggal beserta 3 orang anaknya, Sobu, Sumba, Naipospos yang kemudian karena konflik dengan saudaranya yang tertua yaitu Sibagot Ni Pohan, mereka meninggalkan huta Galagala pada malam hari. Mereka turun ke Pangkodian dari sana mereka naik solu (sampan), satu orang kearah timur ke Sigaol dan 2 orang lagi kearah utara kedaerah Bakkara dan Tipang, kemudian dari 2 tempat itu turunannya menyebar ke daerah Humbang dan ke Silindung.

Daerah Dolok Tolong disebut juga Tombak Longo-longo Sisumbaon, diartikan Rimba yang menjadi tempat persembahan (sampai sekarang masih hidup istilah Tombak Longo-longo diceritakan orang-orang tua) di Puncak Dolok Tolong ada mata air (mual), yang di buat/dipelihara oleh Raja Sisingamangaraja untuk menggingatkan dan memperkuat Prasasti Dolok Tolong, namanya Mual Palakka Gading (tahun 40an penulis waktu masih sekolah SD meminum air dari mual itu dan dari sejak tahun 40an mual itu sudah menjadi objek wisata lokal).

Dapat dinyakini pada zaman Mojopahit Dolok Tolong itu dulu merupakan pusat Religius kaum Animisme dan Paganisme Batak. Bukan tidak mungkin kedatangan kerajaan Mojopahit sebenarnya sudah ada bentuk kebudayaan di daerah Toba/Balige tetapi kemudian hancur akibat peperangan-peperangan “Tingki ni Pidari”. Antara lain Perang Imam Bonjol dan kemudian bukti-bukti sejarah hancur setelah kedatangan agama Kristen. Dari sumber lain juga didapat penemuan sejarah bahwa salah satu putra Sisingamangaraja I (pertama) menghilang dari Bakkara pergi ke Balige namanya Siraja Hita, anak dari Siraja hita ini salah satu menjadi Raja Balige. Si Raja Balige bersaudara dengan Guru Patimpus/ Raja / Ulama yang sudah diakui pendiri Kota Medan.

Sumber :
http://tanobatak.wordpress.com/2012/12/18/prasasti-toloktolong/#more-2627 

0 komentar:

Posting Komentar